PENULIS Toraja mengatakan kalau para ahli bahasa Toraja yang datang kemudian ingin menyusun suatu buku tata bahasa Toraja bagi kepentingan pengajarannya di sekolah-sekolah, misalnya, bahasa Toraja dalam Sura’ Madatu dapat memberikan masukan yang tak ternilai jumlah dan mutunya. Mengapa?
ORANG Jerman mengatakan, bahasa Jerman tertulis pertama yang baik dan benar ialah bahasa Jerman yang digunakan oleh Marthen Luther (1483-1546) di dalam Die Bibel, terjemahan Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani dalam bahasa Jerman (1534). Terjemahan itu diakui indah dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penyusunan tata bahasa Jerman kemudian hari. Terjemahan tersebut telah melestarikan bahasa Jerman dengan sangat baik. Memang Marthen Luther dikenal memiliki keahlian di bidang bahasa. Rasa bahasanya baik dan halus. Sampai sekarang Alkitab terjemahan Luther itulah yang dipakai dalam gereja-gereja Protestan di negara yang berbahasa Jerman (Jerman, Austria, Swis).
Peranan kitab-kitab suci di dalam pelestarian dengan baik dan benar suatu bahasa besar sekali. Misalnya Alkitab dalam bahasa Indonesia (terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia), yang digunakan oleh Gereja Katolik dan Protestan di Indonesia, telah menjadi salah satu sarana penting untuk melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan warga negara Republik Indonesia yang memakainya. Atau Alkitab dalam bahasa Toraja yang disebut Sura’ Madatu, yang dipakai di kalangan gereja Protestan dan Katolik di Kabupaten Tana Toraja bahkan di kalangan Gereja Toraja yang tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur, telah merupakan pelestarian bahasa Toraja tertulis pertama yang besar manfaatnya bagi masyarakat penuturnya.
Sura’ Madatu, yang diterbitkan secara lengkap (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk pertama kali pada tahun 1960, adalah terjemahan yang dikerjakan oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Dr H. van der Veen (berada di Toraja 1916-1955). Memang untuk tugas penerjemahan itulah dia dikirim oleh Nederlands Bijbel-genoottschap (NBG) ke Toraja. Setelah mengadakan penyelidikan yang seksama, teliti, luas dan mendalam selama bertahun-tahun (1916-1930) atas bahasa Toraja baik dari segi kata-kata, sastera dan sebagainya yang diperlukan bagi pekerjaan penerjemahan itu, barulah beliau bisa mulai mengadakan terjemahan. Mula-mula dalam bentuk bacaan untuk Sekolah Zending misalnya Sura’ Pa’basan Bunga’ Lalan yang isinya diambil dari cerita-cerita Alkitab. Kemudian dalam bentuk kitab-kitab dari Alkitab secara lepas. Kitab Injil Lukas-lah yang merupakan kitab pertama dari Alkitab yang berhasil diterjemahkannya dan diberi nama Sura’ Kareba Kaparannuan Natonnorani Luka’. Demikianlah seterusnya pekerjaan itu dilakukan sampai 66 kitab dari Alkitab selesai diterjemahkan pada tahun 1955. Pada tahun itulah pula beliau kembali ke negeri Belanda. Sesudah terjemahan tersebut dibaca dan diperiksa kembali oleh beberapa ahli bahasa Toraja dan beberapa orang pendeta di Rantepao, diusahakanlah untuk menerbitkannya dalam bentuk yang lengkap. Bentuk itulah yang diberi Sura’ Madatu yang diterbitkan pada tahun 1960.
Sura’ Madatu, yang diterbitkan secara lengkap (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk pertama kali pada tahun 1960, adalah terjemahan yang dikerjakan oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Dr H. van der Veen (berada di Toraja 1916-1955). Memang untuk tugas penerjemahan itulah dia dikirim oleh Nederlands Bijbel-genoottschap (NBG) ke Toraja. Setelah mengadakan penyelidikan yang seksama, teliti, luas dan mendalam selama bertahun-tahun (1916-1930) atas bahasa Toraja baik dari segi kata-kata, sastera dan sebagainya yang diperlukan bagi pekerjaan penerjemahan itu, barulah beliau bisa mulai mengadakan terjemahan. Mula-mula dalam bentuk bacaan untuk Sekolah Zending misalnya Sura’ Pa’basan Bunga’ Lalan yang isinya diambil dari cerita-cerita Alkitab. Kemudian dalam bentuk kitab-kitab dari Alkitab secara lepas. Kitab Injil Lukas-lah yang merupakan kitab pertama dari Alkitab yang berhasil diterjemahkannya dan diberi nama Sura’ Kareba Kaparannuan Natonnorani Luka’. Demikianlah seterusnya pekerjaan itu dilakukan sampai 66 kitab dari Alkitab selesai diterjemahkan pada tahun 1955. Pada tahun itulah pula beliau kembali ke negeri Belanda. Sesudah terjemahan tersebut dibaca dan diperiksa kembali oleh beberapa ahli bahasa Toraja dan beberapa orang pendeta di Rantepao, diusahakanlah untuk menerbitkannya dalam bentuk yang lengkap. Bentuk itulah yang diberi Sura’ Madatu yang diterbitkan pada tahun 1960.
Kalau para ahli bahasa Toraja yang datang kemudian ingin menyusun suatu buku tata bahasa Toraja bagi kepentingan pengajarannya di sekolah-sekolah, misalnya, bahasa Toraja dalam Sura’ Madatu dapat memberikan masukan yang tak ternilai jumlah dan mutunya.
Sekadar untuk diketahui, Dr H. van der Veen juga telah bersama-sama dengan J.Tammu berhasil menyusun Kamus Toradja – Indonesia, yang diterbitkan oleh Jajasan Perguruan Kristen Toradja – Rantepao cetakan Balai Pustaka – Djakarta. Inilah satu-satunya Kamus Toraja – Indonesia yang ada sampai saat ini.
Abjad dan Ejaan
Abjad dan ejaan yang digunakan dalam penulisan bahasa Toraja mengikuti yang dipakai dalam Sura’ Madatu dan Kamus Toradja – Indonesias. Dalam bagian Petunjuk Kamus Toradja – Indonesia ditulis, “Susunan abjad yang terpakai dalam kamus ini ialah: a b c d e g h i j (sekarang menjadi y) k l m n o p r s t u w. Huruf-huruf yang tak terpakai di sini, tiadalah terpakai dalam bahasa Toraja. Mengenai ejaan, sedapat-dapatnya menurut ejaan Indonesia, terkecuali hamzah (untuk bahasa Toraja) tetap terpakai ‘ (bukan k), karena jika hamzah diganti dengan k, maka akan menimbulkan rupa-rupa kekeliruan sehingga sukar akan membedakan lafal kata-kata yang memakai hamzah dengan kata-kata yang memakai k, teristimewa kata-kata yang sama tulisannya tetapi berlainan lafal ejaannya, artinya pun berlainan misalnya ara’: dada; arak: kerahkan; lamma’: meresap; lammak: benamkan atau terbenam; tana’: patok; tanak: rebus dsb. Bunyi k di sini adalah k seperti pada fakta, praktik, sak, atau seperti bunyi q pada kata Arab, taufiq, istiqlal, dsb.
Abjad dan ejaan yang digunakan dalam penulisan bahasa Toraja mengikuti yang dipakai dalam Sura’ Madatu dan Kamus Toradja – Indonesias. Dalam bagian Petunjuk Kamus Toradja – Indonesia ditulis, “Susunan abjad yang terpakai dalam kamus ini ialah: a b c d e g h i j (sekarang menjadi y) k l m n o p r s t u w. Huruf-huruf yang tak terpakai di sini, tiadalah terpakai dalam bahasa Toraja. Mengenai ejaan, sedapat-dapatnya menurut ejaan Indonesia, terkecuali hamzah (untuk bahasa Toraja) tetap terpakai ‘ (bukan k), karena jika hamzah diganti dengan k, maka akan menimbulkan rupa-rupa kekeliruan sehingga sukar akan membedakan lafal kata-kata yang memakai hamzah dengan kata-kata yang memakai k, teristimewa kata-kata yang sama tulisannya tetapi berlainan lafal ejaannya, artinya pun berlainan misalnya ara’: dada; arak: kerahkan; lamma’: meresap; lammak: benamkan atau terbenam; tana’: patok; tanak: rebus dsb. Bunyi k di sini adalah k seperti pada fakta, praktik, sak, atau seperti bunyi q pada kata Arab, taufiq, istiqlal, dsb.
Sementara itu hamzah sebagai salah satu huruf dalam abjad bahasa Arab yang ditranskripsikan oleh dunia internasional yang tidak berbahasa Arab dengan sebuah koma atas ( ‘ ), diambil juga sebagai huruf untuk bahasa Toraja. Dalam hal ini bahasa Toraja meminjam huruf-huruf cocok dengan bunyi-bunyi yang terdapat dalam bahasa Toraja sebanyak 19 dari abjad Latin dan satu dari abjad bahasa Arab. Hal seperti itu dapat dipahami karena bahasa Toraja tidak mempunyai bentuk-bentuk huruf sendiri.
Ejaan Salombe dkk
Dr Salombe dkk telah mengubah/mengganti hamzah dalam abjad untuk bahasa Toraja di atas tadi dengan huruf q. Alasan mereka ialah karena hamzah itu bukan huruf (dalam abjad Latin). Mereka, katanya, mau membantu masyarakat penutur bahasa Toraja untuk memberikan tubuh Latin kepada bunyi glotal (hamzah) yang sangat banyak di dalam bahasa Toraja. Tubuh Latin itu bernama huruf q, yang kebetulan kurang terpakai dalam bahasa Indonesia. Penggantian bunyi glotal dengan huruf q itu mendapat reaksi keras dan tidak setuju dari masyarakat penutur bahasa Toraja. Penggantian itu diketahui masyarakat karena melalui program pelajaran bahasa daerah dari TVRI stasiun Makassar kalau waktu siaran pelajaran bahasa Toraja, mereka langsung menggunakan huruf q untuk bunyi glotal. Banyak waktu yang habis untuk menerangkan penemuan baru ini sehingga masyarakat penutur bahasa Toraja sendiri mengikuti siaran itu bagai pelajaran bahasa Jerman untuk orang-orang yang tidak mengenal bunyi “umlaut” (a, o dan u dengan tanda “ di atasnya). Masyarakat penutur bahasa Toraja menjadi asing dengan bahasanya sendiri.
Menyusul hal itu, mereka menerbitkan buku-buku pelajaran bahasa Toraja dan mengedarkan-nya ke SD-SD yang kiranya akan belajar bahasa Toraja. Banyak orang tua murid menjadi kaget dan heran karena mereka tidak tahu membaca bahasa mereka sendiri melalui buku-buku yang dibawa oleh anak-anak mereka dari sekolah.
Mengganti Glotal dengan Q?
Dalam rangka seminar pembahasa-daerahan P4 di Makale, Kabupaten Tana Toraja, pada 20 Mei 1989, salah seorang dari kelompok ahli bahasa Toraja di Makassar yang membawakan satu makalah pada seminar itu, yaitu Drs J. Sande, karena memakai huruf q untuk bunyi glotal dalam penulisan makalahnya, mendapat sorotan dan kritikan keras dari para peserta seminar. Bahkan diskusi tentang penggantian bunyi glotal dengan huruf q sudah jauh lebih hangat dan ramai dibandingkan dengan pokok seminar sendiri pada waktu itu. Ketika didesak oleh para peserta mengapa mereka itu seolah-olah seenaknya sendiri mengubah hamzah dengan huruf q, setelah menguraikan alasan-alasan berdasarkan penelitian mereka, dijawab pula dengan mengatakan bahwa karena hal itu sudah merupakan kesepakatan di dalam suatu seminar oleh para ahli bahasa-bahasa daerah se- Sulawesi Selatan.
Kalau jawaban itu memang benar, banyak pertanyaan dapat disusun: Apa wewenang suatu seminar regional se-Sulawesi Selatan untuk mengubah bunyi huruf q yang termasuk bunyi velar itu menjadi sama dengan bunyi glotal (hamzah)? Apakah memang seminar para ahli bahasa tersebut boleh seenaknya saja mengubah abjad dan ejaan yang dipakai oleh suatu bahasa daerah tanpa melalui persetujuan masyarakat penuturnya sendiri misalnya melalui persetujuan DPRD Tkt. II atau tanpa memperhitungkan pengetahuan masyarakat tentang perbedaan yang teramat besar antara glotal dengan q karena masyarakat kita bukanlah masyarakat tuna aksara lagi?
Apakah juga ada suatu keharusan penyegaran abjad dan ejaan dari bahasa-bahasa daerah yang masing-masing memiliki kekhasan dan keunikannya, yang sekaligus merupakan kekayaan budaya nasional di bumi Pancasila yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini? Tidakkah penyeragaman semacam itu adalah penindasan atas kepelbagaian dan keunikan bahasa-bahasa daerah?
Dalam konteks Sulawesi Selatan, misalnya, adilkah untuk menyeragamkan abjad dan ejaan bahasa Bugis yang memang mempunyai huruf-huruf sendiri (huruf Lontar) dengan bahasa Toraja yang tidak mempunyai huruf-huruf khusus?
Untung sekali karena kelompok perumus hasil seminar pembahasa-daerahan P4 di Makale pada tahun 1989 itu menuliskan rumusannya menurut cara penulisan yang memang sudah dikenal dan disenangi oleh masyarakat penutur bahasa Toraja. Seandainya mereka mengikuti cara menulis yang dipakai oleh Dr Salombe dkk, gagallah sudah tujuan pemasyarakatan P4 lewat pembahasa-daerahannya dalam bahasa Toraja. Karena sudah jelas bagi tiap orang bahwa sesuatu akan memasyarakat kalau disampaikan melalui bentuk dan cara yang sudah dikenal dan dicintai oleh masyarakat itu.
Mengapa harus Glotal?
Setiap orang yang dapat membaca kata-kata yang memakai huruf q seperti: Al-Qur’an, status quo, Mesjid Istiqlal, dan taufiq wa’l-hidaya, dengan benar, pasti akan salah-membaca bahasa Toraja yang ditulis menurut ejaan Dr Salombe dkk, misalnya: geqlo-geqlo (berliuk-liuk, lenggak-lenggok), baqba (pintu), dan boqboq (nasi). Huruf q di dalam kata-kata itu, dan dalam kata-kata semacamnya yang memang banyak sekali dalam bahasa Toraja, dipakai secara salah. Salah karena bunyi yang diwakilinya adalah bunyi glotal (hamzah). Di situ harus ditulis huruf atau tanda hamzah karena hanya hamzah yang mempunyai bunyi yang persis dan tepat untuk itu.
Bahasa Toraja sangat kaya dan khas dengan glotal.
Bahasa Toraja sangat kaya dan khas dengan glotal.
Kalau ditinjau dari sudut bunyi bahasa, q dan hamzah itu sangat berbeda. Huruf q termasuk kelompok bunyi yang disebut bunyi “velar”, yaitu bunyi yang tercipta apabila bagian belakang lidah menempel atau mendekati langit-langit lunak. Bunyi itu dapat anda rasakan kalau menyebut huruf k pada kata-kata seperti: kalah, akar, saku; atau guruf g pada kata-kata seperti: galah, agar, sagu; atau huruf q pada kata-kata seperti: Al-qur’an, status quo, taufiq, dst. Huruf k, g, dan q adalah huruf-huruf berbunyi velar. Khusus huruf k, dia mempunyai dua macam bunyi. Di samping bunyi velar, pada tempat dan dialek tertentu dia berbunyi glotal, misalnya huruf k pertama pada kata-kata dinaikkan, dirusakkan, dll, atau k pada kata-kata seperti bapak-bapak, nenek, dst. Sedangkan hamzah itu adalah murni bunyi glotal, yaitu bunyi yang terbentuk apabila pita suara dilekatkan cukup rapat untuk menghambat udara dari paru-paru dan kemudian dibuka secara tiba-tiba, seperti bunyi k pada kata bapak atau nenek itu tadi.
Jadi bagaimana bisa mengubah dan mengganti bunyi glotal pada hamzah dengan q yang mempunyai bunyi velar yang sama sekali lain? Sekalipun penggantian itu hanya pada bentuk, jadi tubuhnya q (yang orang tahu bersuara velar) namun bunyinya glotal, tetapi bukanlah bentuk mencerminkan bunyi? Antara lain dari sudut bunyi bahasa inilah masyarakat Toraja tidak mungkin menerima penemuan Dr Salombe dkk. itu diterapkan. Dalam rasa bunyi bahasa masyarakat penggantian hamzah dengan q itu sangat mengganggu, merusak dan mengurung bahasa Toraja dalam lingkup yang terlalu sempit.
Bersifat Internasional
Memang kita semua mengetahui, di dalam abjad Latin yang dikenal di seluruh dunia tidak terdapat satu huruf khusus yang mempunyai bunyi yang persis sama dengan huruf hamzah dalam bahasa Arab. Itulah sebabnya di dalam mentranskripsikan huruf-huruf Arab ke huruf-huruf Latin, hamzah itu disalin saja dengan sebuah tanda koma atas ( ‘ ), misalnya “bada’a” (mulai). Transkripsi demikian dikenal di seluruh dunia yang mau mengetahui bahasa Arab melalui huruf-huruf Latin. Periksalah misalnya di dalam kamus-kamus Arab-Inggeris. Para ahli bahasa tingkat dunia mengetahui hal itu. Di Indonesia pun, yang tidak kurang dari 150 juta warga negaranya mengenal bahasa Arab, transkripsi itu sangat lazim. Bahkan di dalam koran-koran yang terbit di Indonesia pun tanda glotal masih tetap dipakai sampai saat ini. Komputer pun mengenal tanda itu. Cukup kita menekan tuts yang ada gambar tanda petik-dua ( “ ) di atasnya dan tanda koma ( , ) dibawahnya, tanpa menekan Shift, kita sudah memperoleh tanda glotal. Dunia internaasional tidak mau mengubah tanda itu dengan huruf q, karena menyadari betapa penting peranannya bagi dunia ilmu secara internasional. (Perlu dikatakan di sini bahwa tanda koma-atas itu bukanlah monopoli bunyi glotal, namun pemakaian dan konteksnya sendiri dapat menerangkan maksudnya).
Jadi kalau ada bahasa bukan Arab yang menggunakan tanda koma-atas untuk mengungkapkan bunyi glotal (gamzah) yang terdapat di dalam bahasa-bahasa itu, seperti yang terjadi pada bahasa Toraja atau bahasa Nias, sesungguhnya bahasa-bahasa tersebut telah memasuki kawasan baik nasional maupun internasional. Penemuan yang mau mengganti tanda glotal itu dengan sebuah huruf q dalam penulisan bahasa Toraja sama dengan mengisolasi bahasa Toraja dari tingkat nasional yang internasional ke dalam lingkup yang sempit dan kecil yaitu tingkat Sulawesi Selatan saja.
Kalau Dr Salombe dkk mengatakan bahwa tanda glotal itu bukan huruf melainkan hanya sebagai tanda baca, kita bertanya, apakah tanda-tanda baca itu tidak mempunyai arti di dalam penulisan bahasa? Apakah tanda tanya (?), tanda seru (!) dst harus diubah menjadi huruf-huruf juga?
Mahal Harganya
Nama saya Indu’ Y. Panggalo. Nama itu sudah tercatat pada 6 lembar STTB dan Akte Kelahiran. Bayangkanlah kalau nama saya itu harus ditulis “induq”, berapa banyak waktu, tenaga dan uang yang harus habis untuk menggantikannya? Berapa ratus ribu orang Toraja yang mempunyai nama yang ditulis dengan hamzah, seperti Tato’, Bato’, Lobo’, Banna’ dst?
Bayangkanlah juga betapa mahalnya untuk menerbitkan dan mengubah ejaan kitab Sura’ Madatu, buku nyanyian rohani berbahasa Toraja, tulisan dalam bahasa manca negara (Inggeris, Belanda, Jerman, Perancis dll) yang sudah hampir satu abad membantu memperkenalkan masyarakat, adapt- istiadat dan budaya Toraja. Belum lagi biaya untuk mengampanyekan dan memromosikan ejaannya. Ini baru merupakan secuil kesulitan yang langsung dihadapi kalau masyarakat Toraja dipaksakan mengganti glotal dengan huruf q.
Pokoknya pengubahan itu membawa serta banyak kesulitan di bidang hukum, ekonomi, pariwisata, dan politik. Sedangkan kalau tetap saja memakai ejaan yang memang sudah ada dan dikenal serta disenangi oleh masyarakat Toraja, juga dikenal dan dapat dibaca oleh orang lain baik secara nasional maupun internasional, tak satupun kesulitan dan kerugian yang ditimbulkan.
Memang sangat terasa kepentingan pelestarian bahasa Toraja dengan baik dan benar. Masyarakat penuturnya pun membutuhkan bimbingan di bidang gramatika, sastera, dsb. Dalam hal semacam itulah kehadiran para ahli diharapkan. Tetapi tidak usah memulai kehadiran itu justru dengan menyulitkan dan merugikan masyarakat. Masyarakat Toraja masih cukup miskin untuk membeli dan membayar mahal produk akademis-ilmiah Dr Salombe dkk.
Mau ke manakah masyarakat kita ini jika setiap sarjana datang dengan memromosikan lalu memaksakan hasil karya berupa skripsi, tesis atau disertasinya kepada mereka? Seandainya menguntungkan, mahal pun tidak perduli. Tetapi kalau merugikan dan menyulitkan, lebih baik kita siapkan saja sebagai saksi kesarjanaan kita. Itu pun sudah sangat berharga dan terharga bukan?
Penulis: I. Y. Panggalo
http://www.gerejatoraja.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar